Jumat, 04 Desember 2009

Pembangunan Kecamatan Pasawahan Tahun 2008 Habiskan Rp5 Milyar

Pasawahan, IB

Dana yang digunakan untuk membangun Kecamatan Pasawahan pada tahun 2008 lalu mencapai angka Rp5 milyar. Dana sebesar itu diperoleh dari bantuan APBD provinsi, APBD kabupaten dan APBN pusat.

Hal itu disampaikan Camat Pasawahan lama, Drs. Tatang Taryono, M.Si yang kini rotasi menjadi Camat Cigandamaker, pada acara Pisah Sambut Camat Pasawahan di kantor kecamatan setempat, Selasa (31/3) lalu.

Tatang menyebutkan, selain dana yang berasal dari bantuan pemerintah, ada lagi sebesar Rp900 juta yang berasal dari swadaya masyarakat se-Kec. Pasawahan. Untuk tahun 2009 ini, sebut Tatang, Kec. Pasawahan dapat PNPM untuk sepuluh desa, PAMSIMAS dua desa, padat karya dua desa, PPIP dua desa dan pasar satu desa.

Menurut Tatang, kondisi seperti itu tidak lepas dari kepercayaan yang diberikan Bupati Kuningan H. Aang HS kepada wilayah yang dulu dibinanya. Terbukti, anggaran yang dialokasikan ke kecamatan lain banyak yang dialihkan ke Kecamatan Pasawahan. “Kondisi ini juga sebagai bentuk keberhasilan dan berkat kegigihan para kepala desa, UPT dan UPTD,” sebutnya.

Sebelum pindah tugas ke daerah lain, Camat Tatang mengucapkan terima kasih kepada warga Kec. Pasawahan. Ia juga meminta maaf bila dalam melaksanakan tugas ada kesalahan. “Terima kasih kepada seluruh masyarakat Kec. Pasawahan. Tanpa bantuan kalian, kami tidak bisa apa-apa,” katanya.

Camat Pasawahan baru, Beny Prihayanto, S.Sos yang rotasi dari Camat Subang mengatakan, keberhasilan Kec. Pasawahan adalah berkat kegigihan camat lama. Dirinya akan melanjutkan perjuangan dan berbuat yang terbaik demi tercapainya kemajuan Kec. Pasawahan ini. Oleh karena itu, dia meminta dukungan dan bantuan dari semua pihak.

Dikatakan Beny, sesuai dengan PP No. 41, sekarang ini ada perubahan struktur organisasi kecamatan. Semula kasi di kecamatan ada lima, kini hanya empat. Kasi yang dihilangkan yaitu kasi perekonomian dan sekretaris Korpri. “Saya berharap, di Kecamatan Pasawahan bisa terbagi jabatan,”

Rabu, 02 Desember 2009

sejarah di dirikannya IPNU


IPNU - IPPNU

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (disingkat IPNU) adalah badan otonom Nahldlatul Ulama yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan NU pada segmen pelajar dan santri putra. IPNU didirikan di Semarang pada tanggal 20 Jumadil Akhir 1373 H/ 24 Pebruari 1954, yaitu pada Konbes LP Ma’arif NU. Pendiri IPNU adalah M. Shufyan Cholil (mahasiswa UGM), H. Musthafa (Solo), dan Abdul Ghony Farida (Semarang).

Ketua Umum Pertama IPNU adalah M. Tholhah Mansoer yang terpilih dalam Konferensi Segi Lima yang diselenggarakan di Solo pada 30 April-1 Mei 1954 dengan melibatkan perwakilan dari Yogyakarta, Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri.

Pada tahun 1988, sebagai implikasi dari tekanan rezim Orde Baru, IPNU mengubah kepanjangannya menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama. Sejak saat itu, segmen garapan IPNU meluas pada komunitas remaja pada umumnya. Pada Kongres XIV di Surabaya pada tahun 2003, IPNU kembali mengubah kepanjangannya menjadi “Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama”. Sejak saat itu babak baru IPNU dimulai. Dengan keputusan itu, IPNU bertekad mengembalikan basisnya di sekolah dan pesantren.

Visi IPNU adalah terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlak mulia dan berwawasan kebangsaan serta bertanggungjawab atas tegak dan terlaksananya syari’at Islam menurut faham ahlussunnah wal jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kini IPNU telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah di tingat provinsi dan 374 Pimpinan Cabang di tingkat kabupaten/kota. Sampai dengan tahun 2008, anggota IPNU telah mencapai lebih dari 2 juta pelajar santri yang telah tersebar di seluruh Indonesia.

Lain IPNU,lain juga IPPNU yang merupakan wadah aspirasi remaja putri NU.

Sejarah kelahiran IPPNU dimulai dari perbincangan ringan oleh beberapa remaja putri yang sedang menuntut ilmu di Sekolah Guru Agama (SGA) Surakarta, tentang keputusan Muktamar NU ke-20 di Surakarta. Maka perlu adanya organisasi pelajar di kalangan Nahdliyat. Hasil obrolan ini kemudian dibawa ke kalangan NU, terutama Muslimat NU, Fatayat NU, GP. Ansor, IPNU dan Banom NU lainnya untuk membentuk tim resolusi IPNU putri pada kongres I IPNU yang akan diadakan di Malang. Selanjutnya disepakati bahwa peserta putri yang akan hadir di Malang dinamakan IPNU putri.

Dalam suasana kongres, yang dilaksanakan pada tanggal 28 Februari – 5 Maret 1955, ternyata keberadaan IPNU putri masih diperdebatkan secara alot. Rencana semula yang menyatakan bahwa keberadaan IPNU putri secara administratif menjadi departemen dalam organisasi IPNU. Namun, hasil pembicaraan dengan pengurus teras PP IPNU telah membentuk semacam kesan eksklusifitas IPNU hanya untuk pelajar putra. Melihat hasil tersebut, pada hari kedua kongres, peserta putri yang terdiri dari lima utusan daerah (Yogyakarta, Surakarta, Malang, Lumajang dan Kediri) terus melakukan konsultasi dengan jajaran teras Badan Otonom NU yang menangani pembinaan organisasi pelajar yakni PB Ma’arif (KH. Syukri Ghozali) dan PP Muslimat (Mahmudah Mawardi). Dari pembicaraan tersebut menghasilkan beberapa keputusan yakni:

  1. Pembentukan organisasi IPNU putri secara organisatoris dan secara administratif terpisah dari IPNU
  2. Tanggal 2 Maret 1955 M/ 8 Rajab 1374 H dideklarasikan sebagai hari kelahiran IPNU putri.
  3. Untuk menjalankan roda organisasi dan upaya pembentukan-pembentukan cabang selanjutnya ditetapkan sebagai ketua yaitu Umroh Mahfudhoh dan sekretaris Syamsiyah Mutholib.
  4. PP IPNU putri berkedudukan di Surakarta, Jawa Tengah.
  5. Memberitahukan dan memohon pengesahan resolusi pendirian IPNU putri kepada PB Ma’arif NU. Selanjutnya PB Ma’arif NU menyetujui dan mengesahkan IPNU putri menjadi Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU).

Dalam perjalanan selanjutnya, IPPNU telah mengalami pasang surut organisasi dan Khususnya di tahun 1985, ketika pemerintah mulai memberllakukan UU No. 08 tahun 1985 tentang keormasan khusus organisasi pelajar adalah OSIS, sedangkan organisasi lain seperti IPNU-IPPNU, IRM dan lainnya tidak diijinkan untuk memasuki lingkungan sekolah. Oleh karena itu, pada Kongres IPPNU IX di Jombang tahun 1987, secara singkat telah mempersiapkan perubahan asas organisasi dan IPPNU yang kepanjangannya “Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama” berubah menjadi “Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama”.

Keinginan untuk kembali ke basis semula yakni pelajar demikian kuat, sehingga pada kongres XII IPPNU di Makasar tanggal 22-25 Maret tahun 2000 mendeklarasikan bahwa IPPNU akan dikembalikan ke basis pelajar dan penguatan wacana gender.

Namun, pengembalian ke basis pelajar saja dirasa masih kurang. Sehingga pada Kongres ke XIII IPPNU di Surabaya tanggal 18-23 Juni 2003, IPPNU tidak hanya mendeklarasikan kembali ke basis pelajar tetapi juga kembali ke nama semula yakni “Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama”. Dengan perubahan akronim ini, IPPNU harus menunjukkan komitmennya untuk memberikan kontribusi pembangunan SDM generasi muda utamanya di kalangan pelajar putri dengan jenjang usia 12-30 tahun dan tidak terlibat pada kepentingan politik praktis yang bisa membelenggu gerak organisasi.


SEJARAN NU

Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.